CERPEN

Ketika Keadilan Dapat di Beli Dengan Uang

Pagi itu, tampak seorang gadis nan cantik menyusuri koridor menuju kelas nya. Dia adalah siswi SMAN 215 Jakarta Selatan. Dia merupakan salah satu gadis populer di sekolah nya. Dia berasal dari keluarga yang sangat berkecukupan. Papa nya adalah seorang pengusaha terkemuka di Indonesia. Tidak heran dengan kekayaan yang di miliki papa nya, dia bersikap angkuh dan sombong. Dia hanya mau berteman dengan orang-orang yang di anggap nya selevel dengan dirinya. Dia memiliki geng yang terdiri dari anak-anak yang berasal dari keluarga kaya. Geng ini di kenal sebagai “The Roses”. Geng The Roses juga tidak kalah populernya dengan geng lainnya di sekolah. Gadis ini pun dikenal sebagai ketua geng “The Roses”.
“Morning guys…!” sapa gadis itu ketika menghampiri anggota The Roses yang lain, sambil bergaya memamerkan sepatu dan tas baru yang ia pakai.
“Good Morning Winona. Waaah, tas dan sepatu baru yaa ? Bagus sekali. Pasti dari luar negeri kan ?” sahut salah satu anggota The Roses.
“Iya dong pastinya. Ini oleh-oleh dari papa ku. Ia baru saja pulang dari Eropa.” terang Winona.
Selanjutnya aku tidak mendengar lagi apa yang dibicarakan Winona and The Roses nya itu. Aku tidak tertarik untuk mendengar nya. Aku pergi menjauh dari tempat The Roses berkumpul. Entah mengapa aku tidak suka dengan orang-orang yang memilih kelompok tersendiri dalam bergaul. Menurut ku, dalam bergaul kita tidak seharusnya memilih-milih teman. Selagi masih ada waktu dan kesempatan. carilah teman sebanyak mungkin. Dan jangan berteman karena status sosial nya. Teori itu selalu aku gunakan dalam mencari teman. Boleh dibilang aku mudah bergaul dengan siapa saja. Itu lah yang membuat ku dikenal sebagi orang yang ramah. Dan bukannya aku iri dengan kehidupan mereka, tetapi aku juga tidak suka dengan gaya mereka yang seolah memamerkan kekayaan padahal semua itu adalah milik orang tuanya. Lamunanku terhenti ketika bel masuk sekolah berbunyi, aku mempercepat langkah ku menyusuri koridor menuju kelas.

****

Ketika bel pulang sekolah berbunyi, seperti biasa aku menuju gerbang sekolah untuk menunggu ayah ku. Ayah memang selalu menjemput ku saat pulang sekolah. Dikarenakan tempat kerja ayah dekat dengan sekolah ku. Dan kebetulan pula jam pulang kerja ayah sama dengan jam pulang sekolah ku. Begitu aku tiba di gerbang, terlihat ayah ku baru saja hendak menyeberang jalan. Tiba-tiba aku melihat dari arah yang berlawanan, sebuah mobil putih melaju kencang di saat ayah sedang menyeberang jalan. Aku teriak memanggil nama ayah, tapi apa daya itu tidak dapat mencegah mobil itu menabrak ayah ku. Aku sangat kaget melihat kejadian yang baru saja terjadi. Dengan segera aku hampiri ayah yang sudah tergeletak di tengah jalan dengan begitu banyak darah yang mengalir dari kepalanya. Kudekap ayah ku erat, tanpa sadar air mata ku sudah mengalir begitu saja. Kulihat orang-orang disekitar mulai menghampiri tempat kejadian, dengan sangat panik aku meminta salah seorang yang berada di dekat ku untuk segera memanggil ambulans.

****

Ketika aku sedang menunggu ayah di ruang UGD, masih terekam jelas kecelakaan yang baru saja menimpa ayah. Sungguh aku sangat berharap bahwa ini semua hanya lah mimpi. Tapi aku tau bahwa ini nyata, sangat nyata. Aku telah melihat dengan mata kepala ku sendiri, ketika mobil itu sama sekali tidak berusaha untuk mengerem mobilnya. Dan seperti tanpa rasa bersalah sama sekali, mobil putih itu lari begitu saja meninggalkan korban nya, yaitu ayah ku. Beruntung mobil ambulans datang tepat waktu. Lamunanku terhenti ketika kudengar suara pintu ruang UGD terbuka dan dehaman sang dokter. Segera saja aku menghampiri dokter.
“Bagaimana kondisi ayah saya dokter ? Beliau baik-baik saja kan ?” tanya ku pada dokter dengan penuh cemas.
“Saat ini kondisi ayah anda sangat kritis. Kepala nya mengalami pendarahan yang cukup banyak. Dan ada beberapa tulang nya yang patah. Mohon maaf Kami belum bisa memberikan keterangan akan keadaan ayah anda secara rinci karena ayah anda masih dalam pemeriksaan. Sebaiknya anda bersabar dan terus berdoa. Sebagai dokter sudah menjadi kewajiban saya untuk berusaha menyelamatkan ayah anda.” Jelas sang dokter panjang lebar.
“Baik. Terima kasih dokter. Lakukan yang terbaik untuk ayah saya” kata ku dengan nada memohon.
“Itu pasti. Anda tidak perlu khawatir saya pasti akan melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan ayah anda. Baiklah, saya permisi dulu.” pamit dokter.
Sepeninggalan dokter, aku langsung menuju telepon umum yang ada di rumah sakit. Aku akan menelepon ibu untuk memberi tahu kecelakaan yang baru saja menimpa ayah.
“Halo, ibu.” kata ku ketika mendengar suara ibu di seberang telepon.
“Iya, Din. Ada apa sayang ? Kenapa kamu dan ayah belum sampai di rumah ? Kalian sedang berada dimana ? “ tanya ibu.
“Hmm… hmm… ayah mengalami kecelakaan bu. Saat ini ayah sedang berada di ruang UGD Rumah Sakit Harapan.” Jawab ku dengan nada parau.
“Astaghfirullahaladzim. Bagaimana cerita nya ? Kenapa ayah bisa kecelakaan ? Bagaimana keadaan ayah saat ini ?” terdengar suara ibu sangat panik di seberang sana.
“Bisa kah ibu ke Rumah Sakit sekarang ? Nanti akan Dina ceritakan bagaimana kejadian nya pada ibu.”
“Baik lah Din, tunggu ibu sebentar lagi. Ibu akan segera menuju ke Rumah Sakit.” Kata ibu dan langsung memutuskan hubungan telepon kami.
Setelah menutup telepon, aku kembali ke ruang tunggu UGD. Aku tidak yakin bisa menceritakan semua kejadian tadi pada ibu dengan baik. Karena sampai saat ini pun, perasaan ku masih sangat tidak karuan. Perasaan campur aduk masih menguasai diriku.

****

Aku adalah seorang gadis remaja yang masih duduk dikelas XI SMAN 215 Jakarta Selatan. SMAN 215 merupakan salah satu SMA Negeri favorit di Jakarta. Aku bisa diterima di sekolah ini, karena beasiswa yang aku dapatkan. Jika bukan karena beasiswa, mungkin ayah ku tidak sanggup untuk membiayai ku di sekolah ini. Karena walaupun sekolah ini merupakan sekolah negeri, tetapi tetap saja dengan predikat nya yang sekolah favorit, uang SPP sekolah ini agak lebih mahal dari sekolah negeri lainnya. Tapi hal ini sebanding dengan fasilitas lengkap yang dimiliki sekolah ini.

Aku berasal dari keluarga yang sederhana dan berkecukupan. Ayah ku hanya seorang satpam di sebuah perusahaan dan Ibu ku bekerja sebagai pambantu rumah tangga. Aku mempunyai 2 orang adik. Kedua adik ku sekolah di SDN 34 Jakarta Selatan. Beruntung pemerintah telah memberikan biaya gratis selama masa wajib belajar 9 tahun. Jadi, ayah ku tidak terlalu berat membiayai sekolah aku dan kedua adik ku.

Kini, saat ayah terbaring di rumah sakit aku bingung bagaimana nanti nya kami dapat membayar biaya rumah sakit. Biaya rumah sakit sangat mahal, apa lagi dengan kondisi ayah yang kritis tentu saja membutuhkan uang yang banyak untuk menebus semua obat. Aku hanya bisa pasrah terhadap tuhan. Karena aku yakin, tuhan selalu punya rencana yang terbaik untuk umatnya.

Pagi ini cuaca sangat cerah, setelah adik-adik ku berangkat ke sekolah, aku pun bersiap-siap untuk menuju ke rumah sakit. Sejak semalam ibu sendirian di rumah sakit menunggu ayah. Jadi pagi ini aku berencana untuk menemani ibu dan tidak masuk sekolah. Aku telah menelepon wali kelas ku untuk memberitahu kan bahwa aku tidak bisa masuk sekolah, dan aku pun memberitahu wali kelas ku tentang musibah yang baru saja menimpa ayah ku. Di akhir telepon, wali kelas ku mendoakan agar ayah cepat sembuh.

Setiba nya di rumah sakit, aku melihat ibu duduk termenung di kursi ruang tunggu. Terlihat wajah ibu yang lesu. Aku dapat merasakan bagaimana perasaan ibu saat ini melihat ayah yang hanya mampu terbaring di tempat tidur. Aku mendekati ibu dan duduk di sebelah nya.
“Bu, sarapan dulu bu. Ini Dina bawakan sarapan untuk ibu.” Kata ku
“Terima Kasih, Din. Lho, kamu tidak sekolah hari ini ?” tanya ibu heran.
“Tidak Bu. Dina ingin menemani Ibu disini. Dina sudah telepon wali kelas Dina untuk meminta izin.” Terang ku.
Pembicaraan kami terhenti ketika seorang dokter menghampiri kami.
“Maaf, apakah Ibu keluarga dari Bapak Saleh ?” tanya sang dokter.
“Iya benar. Ada apa dokter ? Bagaimana suami saya.” Tanya ibu balik kepada dokter.
“Maafkan saya bu karena saya membawa berita buruk tentang suami ibu. Saya harap ibu dan keluarga dapat menerima berita ini dengan sabar.”
“Apa yang terjadi dengan suami saya dok ? “
“Hmmm, kami para dokter sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ternyata tuhan berkehendak lain. Suami ibu telah di panggil oleh yang Maha Kuasa.” terang dokter dengan nada menenangkan.
“Innalillahiwainnailaihiroji’un” ucap ku dan ibu.
Seketika tangis kami berdua pun pecah.
*****

Sudah 3 bulan berlalu sejak ayah meninggal. Kini aku bertugas membantu ibu untuk membiayai hidup kami sehari-hari. Aku membantu ibu dengan berjualan gorengan sepulang sekolah atau terkadang aku titipkan dagangan ku di kantin sekolah.

Suatu siang yang panas, saat aku hendak pulang sekolah. Aku melihat sebuah mobil putih sedang parkir di depan gerbang sekolah, sepertinya mobil itu sedang menunggu salah satu siswa di sekolah ini. Awal nya aku tidak terlalu peduli dengan keberadaan mobil putih itu. Tapi tiba-tiba aku seperti menyadari suatu hal, aku merasa sangat familiar dengan mobil ini. Ya benar ! Mobil putih ini adalah mobil yang telah menabrak ayah. Rasa penasaran pun mulai menghantui ku, aku ingin tahu siapa pemilik mobil putih ini. Setelah menunggu selama 10 menit, akhirnya terlihat seorang siswi menuju mobil putih itu. Aku sangat kaget melihat siapa siswi yang baru saja memasuki mobil putih tersebut. Dia Winona !

Kini, aku tau siapa pemilik mobil putih itu. Mobil putih itu adalah milik keluarga Winona. Dan aku pun menyimpulkan bahwa yang telah menabrak ayah adalah salah satu keluarga dari Winona.

Dengan informasi yang aku punya saat ini, ingin rasa nya aku melaporkan kejadian 3 bulan lalu itu kepada polisi. Aku ingin pelaku yang telah menabrak ayah tersebut di adili dengan sebagaimana mesti nya. Walaupun dengan pelaku tersebut diadili ayah tidak dapat kembali, tapi aku ingin keluarga ku mendapat kan keadilan atas musibah yang menimpa kami. Aku pun dengan mantap melangkah kan kakiku menuju kantor polisi terdekat untuk melaporkan kejadian 3 bulan yang lalu itu.
******

Hari ini adalah hari dimana hasil putusan hakim di jatuhkan. Setelah menjalani proses penyelidikan oleh polisi, diketahui bahwa yang telah menabrak ayah adalah papa Winona. Saat persidangan beberapa waktu lalu, beliau memberi keterangan bahwa pada saat itu ia sedang terburu-buru dan tidak melihat ada seorang pria yang menyeberang jalan. Karena begitu panik telah menabrak seseorang, ia langsung kabur begitu saja. Tapi buat ku hal itu tidak bisa di jadikan alasan kuat untuk beliau lari dari tanggung jawabnya.

Perasaan ku sedikit tidak tenang. Entah apa yang akan di putuskan hakim pengadilan nanti. Sebelum berangkat ke pengadilan, ibu sempat berkata pada ku “Apa pun keputusan hakim nanti kita harus menerima nya dengan lapang dada ya Din. Ibu tau kamu sudah berusaha untuk mencari keadilan terhadap kecelakaan yang menyebabkan ayah mu meninggal tapi kamu jangan sampai kecewa jikalau nanti hasil keputusan hakim tidak sesuai dengan yang kita harapkan”. Aku hanya diam saja mendengar perkataan ibu, entah mengapa aku merasakan firasat yang kurang baik, berhubungan dengan perkataan ibu barusan.

Setiba nya di pengadilan, aku melihat Winona dan keluarga sudah memasuki ruang pengadilan. Tidak sengaja tatapan mata kami bertemu Winona memberikan senyum nya padaku. Tidak biasa nya dia tersenyum pada ku. Entah apa maksud nya tapi aku merasa senyuman itu bukan senyuman bersahabat. Aku pun membalas senyumannya lalu membuang tatapan ku darinya.

Ketika kami memasuki ruang sidang, persidangan pun segera dimulai. Suasana sidang kali ini agak sedikit berbeda, mungkin dikarena kan hari ini adalah hari pengambilan keputusan hakim terhadap kasus ini. Persidangan berlangsung selama kurang lebih 2,5 jam dan keputusan hakim adalah menyatakan bahwa Bapak Sudrajat yaitu Papa Winona dinyatakan tidak bersalah. Betapa kecewa nya hati ku ketika mendengar keputusan hakim itu. Ternyata firasat ku tadi pagi sebelum pergi ke persidangan benar. Dan apa yang dikatakan ibu pun menjadi kenyataan. Hasil keputusan hakim tidak sesuai dengan apa yang kami harapkan. Tujuan ku untuk mendapat kan keadilan bagi keluarga kami pupus sudah.

Kami pun keluar ruang persidangan dengan perasaan kecewa. Aku pun izin kepada ibu untuk pergi ke toilet sebentar. Aku tidak ingin ibu melihat ku menitikkan air mata untuk kekecewaan yang aku rasakan saat ini. Saat aku berjalan menuju toilet, aku melihat bapak hakim yang memimpin persidangan tadi sedang bersama papa Winona dan pengacaranya. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan disitu. Karena rasa penasaranku, aku pun bersembunyi dan mendengar kan percakapan mereka.
“Saya mengucapkan terima kasih sekali Pak karena bapak sudah mau bekerja sama untuk membantu client saya.” Kata pengacara itu.
“Iya sama-sama Pak. Ini bukan pekerjaan yang sulit bagi saya. Saya juga senang dapat membantu anda.” Jawab Pak Hakim.
“Baik lah Pak. Ini cek yang sudah saya tanda tangani. Jumlahnya sudah sesuai dengan yang kita sepakati. Senang bekerja sama dengan anda Pak Hakim.” Lanjut Papa Winona sambil memberika selembar cek itu dan berjabat tangan dengan Pak Hakim.
Dari kejauhan aku hanya terdiam menyaksikan apa yang baru saja kulihat dan kudengar.

Komentar

Postingan Populer